Masyarakat Tapanuli Menilai Tidak Pantas Delima Silalahi Sebagai Pejuang Lingkungan dan Terima Penghargaan GEP

 News

Masyarakat Tapanuli Menilai, Tidak Pantas Delima Silalahi Sebagai Pejuang Lingkungan
Dan Terima Penghargaan GEP

11/06/2023
Hunter News Today.com
Tapanuli,
Penghargaan Goldman Environmental Prize (GEP) yang diterima Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi, di Amerika menuai kritikan ditengah masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara, ditambah lagi ketika dirinya disebut sebagai pejuang lingkungan di beberapa media online.

Ketua Sumatera Forest Non Goverment Organization (NGO) Rinaldi Hutajulu mengatakan standar seperti apa yang menjadi pedoman yang digunakan sehingga di beri penghargaan GEP kepada Delima Silalahi.

Menurutnya pihak pemberi penghargaan hanya menilai Delima Silalahi dari sisi memperjuangkan tanah adat. Dan tanah adat yang diperjuangkan disejumlah daerah belum jelas dasar hukum dan kepemilikannya.

“Penilaian lebih konsentrasi memperjuangkan tanah adat yang cenderung merupakan bagian dari konsesi perusahaan swasta salah satunya PT Toba Pulp Lestari Tbk, yang memiliki ijin atau legalitas dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)”, jelas Rinaldi Hutajulu.

Menurutnya sejak beberapa tahun belakangan ini pihak Delima Silalahi (KSPPM) hanya melakukan konsentrasi tehadap perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik Toba Pulp Lestri.

Padahal menurut Rinaldi penguasaan lahan dan alih fungsi kawasan hutan lainnya masih banyak dilakukan oleh pihak lainnya di sejumlah kabupaten kawasan Tapanuli, yakni kawasan hutan disekitar perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Tapanuli Selatan.

“Ada sejumlah lokasi kawasan hutan lindung yang sudah dibabat dan dialih fungsikan yang luasnya ratusan hektar, dan tidak pernah ditangani oleh KSPPM dalam melakukan perlawanan, dan ini menjadi pertanyaan besar bagi sejumlah pemerhati lingkungan di Tapanuli”, kata Rinaldi Hutajulu.

Lebih lanjut Rinaldi mengatakan meskipun Delima Silalahi berhasil menerima penghargaan Goldman Environmental Prize (GEP), namun dirinya menilai masih kurang pantas dan sangat jauh dari harapan dalam hal sebagai pejuang lingkungan dengan tidak berpihak kepada siapapun, khususnya untuk kepentingan pemberi dana dari kawasan negara Eropa.

“Silahkan saja mendapatkan penghargaan itu, tapi tunjukkan kinerja dilapangan dan tidak pandang buluh. Masih banyak pihak yang mengalihfungsikan kawasan hutan secara besar-besaran tanpa ada legalitas atau perijinan dari pemerintah.

Kalau hanya pihak tertentu yang jadi target mereka saya jadi tanda tanya dan curiga ada apa, apa tujuannya dan siapa dibelakangnya”, ungkap Rinaldi.

Kemudian muncul pertanyaan lain, darimanakah KSPPM yang dipimpin Delima Silalahi mendapatkan dana untuk membiayai operasional kantornya dan gaji para pengurusnya?

Hingga saat ini siapa para donatur KSPPM masih dalam penelusuran. Namun intrik yang berkembang, KSPPM memperoleh dana segar dari Eropa dan Amerika, mungkin untuk melawan pesaing bisnisnya di dunia internasional, khususnya bisnis Pulp.

Akibatnya, muncul lagi kemudian penilaian masyarakat kawasan Danau Toba yang menyebut Delima Silalahi itu hanya antek asing, yang diperalat untuk kepentingan bisnis mereka dengan mendiskreditkan PT Toba Pulp Lestari, Tbk dengan membawa isu lingkungan dan tanah adat.
Melalui penghargaan GEP, Delima Silalahi yang merasa bangga juga dinilai tidak sadar diri sudah masuk perangkap permainan bisnis tingkat dunia.

Delima itu katanya hanya pion, hanya pekerja dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai antek asing karena selalu saja menyuarakan tutup TPL, bahkan sampai ke Amerika. Sementara 8.000 an masyarakat Batak menumpahkan nasibnya di pabrik PT TPL.

“Kok bisanya si Delima Silalahi itu demo ke Amerika dengan teriakan tutup TPL. Sementara ribuan saudaranya suku Batak bisa hidup dan makan serta sekolahkan anaknya karena bekerja di PT TPL. Aneh ini orang”, kata Marolop Tampubolon salah satu pemerhati NGO di Kabupaten Toba.

Menggali komentar Ompung Indera Nababan terdahulu yang mengatakan Delima Silalahi itu hanya pekerja, sementara di sejumlah media online menyebutnya pejuang. Sebenarnya apa perbedaan pejuang dengan pekerja.

Pekerja adalah orang yang hanya mau melakukan sesuatu karena mengharapkan imbalan dan keuntungan. Ia akan berhenti beraktivitas apabila tidak ada imbalan yang bisa didapat.
Pertanyaannya, ketika Delima Silalahi dan pengurus KSPPM lainnya tidak lagi menerima gaji, apakah mereka tetap mau bekerja untuk KSPPM dalam perjuangan lingkungan dan tanah adat?

“Sepertinya tidak, mereka tidak akan mampu. Karena selama ini mereka itu semua memang bukan pejuang tapi pekerja. Saya yakin mereka tidak tahan lapar”, kata Jimmi Marpaung pengamat pergerakan KSPPM.

Menurut Jimmi, pejuang adalah orang yang mau mengorbankan apa yang dimiliki, baik berupa tenaga, harta, dan bahkan jiwanya sekalipun untuk kepentingan orang lain. Orang seperti itu biasanya tidak peduli, apakah pada akhirnya akan memperoleh sesuatu, atau tidak.

Aksi demo dan teriakan atas nama rakyat itu hanya berbuntut agar dapat menerima gaji, sementara rakyat dijadikan alat. Kalau tidak teriak, tidak terima gaji. Inilah yang dinamakan pekerja mengaku sang pejuang ujarJimmy. (Heri Guci)

Author: 

No Responses

Leave a Reply